Berdikari.co, Bandar Lampung - Analis Sistem Digital Metro Visual Perkasa, Ahmad Satibi, menyebut SPMB diperkenalkan dengan semangat pemerataan dan keadilan akses pendidikan.
Satibi mengatakan, sejumlah perubahan utama diusung seperti penggantian istilah peserta didik menjadi murid, penghapusan konsep zonasi berbasis jarak yang digantikan dengan sistem rayon domisili administratif, serta penyesuaian kuota.
"Namun, perubahan tersebut masih berada di level struktural-administratif. Jika akar masalahnya tetap dibiarkan, maka SPMB hanya akan menjadi bungkus baru dari krisis lama,” kata Satibi, pada Jumat (20/6/2025).
Ia menerangkan, filosofi sistem zonasi yang kini diganti domisili bertujuan memeratakan akses pendidikan. Tetapi dalam praktiknya sistem ini gagal mengatasi realitas pendidikan Indonesia yang timpang.
“Di Kota Metro, sekolah negeri unggulan seperti SMAN 1 dan SMAN 4 tetap menjadi magnet bagi siswa. Sementara sekolah di pinggiran kota kesulitan mengisi kursi,” tegasnya.
“Domisili hanya memindahkan titik rawan kecurangan. Kalau sebelumnya orang tua menumpang KK, sekarang tekanan berpindah ke merekayasa batas rayon demi kepentingan kelompok tertentu,” ujarnya.
Satibi mengungkapkan, perubahan dari zonasi ke domisili tidak serta-merta mempersempit ruang kecurangan. Justru, celah manipulasi bisa menjadi lebih sistemik.
"Dalam skema domisili, batas administratif dapat dinegosiasikan. Inilah titik rawan baru, ketika garis rayon bisa diatur, maka akan muncul godaan bagi elite lokal untuk memasukkan kompleks perumahan elit ke dalam wilayah sekolah unggulan,” katanya.
Ia mengatakan, SPMB memang menawarkan perbaikan, kuota jalur prestasi diperluas, dan sistem daring dijanjikan lebih canggih. Namun, Satibi menekankan bahwa selama jurang mutu antar sekolah tidak dipersempit, maka sistem penerimaan siswa apapun akan terus dicurangi.
“Kenyataannya, publik tahu sekolah mana yang unggul, dan mana yang hanya sekadar gedung. Di Metro hari ini banyak sekali masyarakat yang mengeluhkan karena anaknya tidak lolos dalam sistem penerimaan murid baru di sejumlah sekolah negeri yang ada di Metro. Anak-anak pintar tetap akan diarahkan ke sekolah favorit. Selama persepsi ini tak berubah, jadi tekanan akan selalu ada," jelasnya.
Satibi menyoroti adanya tiga ancaman utama dalam SPMB yang perlu segera dilakukan evaluasi. Pertama, ketimpangan mutu pendidikan antar sekolah. Selama persepsi terhadap sekolah favorit hidup, maka kompetisi akan brutal, dan orang tua rela melakukan apa saja demi lolos seleksi.
Kedua, kesenjangan kapasitas daerah dalam mengelola teknologi dan integritas sistem. Sistem daring hanya akan efektif jika infrastruktur digital dan sumber daya manusia di daerah siap. Namun sayangnya dalam banyak kasus belum merata.
"Yang terakhir ialah minimnya transparansi dan pengawasan publik. Tanpa sistem pelaporan dan pemantauan real time yang dapat diakses masyarakat, potensi penyalahgunaan akan tetap tinggi," imbuhnya.
Satibi mengusulkan empat langkah konkret yang bisa dijalankan pemerintah jika tidak ingin SPMB bernasib sama dengan PPDB. Yang pertama ialah membentuk satgas integritas SPMB lintas kementerian seperti Kemendikbud, Kemendagri, Kepolisian, dan Ombudsman dengan mandat pengawasan real time, audit acak, dan sanksi tegas.
"Kedua, meluncurkan program percepatan pemerataan mutu sekolah dengan fokus pada redistribusi guru, pelatihan kepala sekolah, dan peningkatan kurikulum di sekolah sepi peminat,” ungkapnya.
Ketiga, mewajibkan sistem data publik terintegrasi berbasis Dukcapil dan Dapodik, dengan dasbor digital yang menunjukkan jumlah pendaftar, peringkat, dan kuota secara transparan.
“Dan keempat, mengaitkan DAK bidang pendidikan dengan indeks integritas daerah. Wilayah dengan tingkat kecurangan tinggi harus diberi sanksi anggaran," paparnya.
Menurutnya, SPMB adalah momen penting yang menentukan arah keadilan pendidikan di Indonesia. Tetapi, tanpa pengawasan, transparansi, dan keberanian menyentuh masalah mutu, sistem ini hanya akan menjadi perpanjangan dari kegagalan yang diwariskan PPDB.
“Anak-anak seharusnya tak dibebani kecemasan sistem. Tugas kita adalah menciptakan mekanisme yang adil, transparan, dan tak bisa ditawar-tawar oleh siapapun,” tandasnya. (*)
Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Senin 23 Juni 2025 dengan judul “Pengamat: Perubahan Zonasi ke Domisili Tidak Persempit Ruang Kecurangan”