Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Kamis, 03 Juli 2025

BKSDA Buru Buaya yang Terkam Warga di Sungai Way Semaka Tanggamus

Oleh Sayuti

Berita
Tim BKSDA saat mensurvei sungai tempat buaya pemangsa manusia yang akan diburu. Foto: Ist

Berdikari.co, Tanggamus – Sungai Way Semaka, yang membelah Kecamatan Bandar Negeri Semuong, Wonosobo, dan Semaka, selama ini dikenal sebagai urat nadi kehidupan warga Tanggamus. Namun dalam beberapa tahun terakhir, sungai terpanjang dan terbesar di kabupaten ini justru berubah menjadi sumber kecemasan. Di balik aliran airnya yang tenang, mengintai ancaman nyata: buaya muara (Crocodylus porosus) yang telah menelan korban jiwa dan melukai sejumlah warga.

Duka terbaru datang pada Senin (30/6/2025), saat Wasim (80), warga Pekon Sripurnomo, ditemukan tewas di pinggiran sungai. Tubuhnya diseret buaya sejauh 200 meter sebelum akhirnya ditemukan warga dalam kondisi mengenaskan. Serangan ini menambah panjang daftar korban buaya di Way Semaka sejak 2024.

Menanggapi peristiwa ini, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seksi Konservasi Wilayah (SKW) III Lampung segera menurunkan tim ke lokasi. Dipimpin oleh Yuliar, tim yang terdiri dari Akbar dan Muhammad Doni itu membawa peralatan berupa jerat kolong, tali-temali, serta umpan hidup berupa ayam dan bebek.

“Jika tali-temali cukup, akan kami pasang tiga perangkap di titik-titik kemunculan buaya. Metode ini pernah berhasil kami gunakan tahun lalu,” ujar Yuliar saat meninjau lokasi, Rabu (2/7/2025).

Ancaman buaya bukanlah hal baru bagi warga sekitar. Pada 13 Mei 2025, Maryati (45), warga Dusun Sukadamai, Pekon Sripurnomo, diserang saat mandi. Ia mengalami patah tulang dan luka serius akibat gigitan buaya. Sebelumnya, pada 24 Juni 2024, dua warga, Painah (51) dan Ngatini (58), juga menjadi korban. Painah tewas, sedangkan Ngatini mengalami luka di punggung.

Tak lama setelah insiden tersebut, BKSDA berhasil menangkap seekor buaya sepanjang 2,95 meter pada 27 Juni 2024. Buaya tersebut kemudian dievakuasi ke Pusat Penyelamatan Satwa di SKW III Lampung, Rajabasa, Bandar Lampung.

“Buaya ini punya gigi taring bagian atas yang patah. Artinya, sudah sering berkonflik atau terluka,” ungkap Joko Susilo, Kepala SKW III Lampung.

Way Semaka dulu adalah tempat kehidupan bermula—ibu-ibu mencuci, anak-anak berenang, para bapak memancing sambil berbincang. Tapi kini, semua itu tinggal kenangan. Ketakutan menyelimuti warga. Anak-anak dilarang mendekat. Sungai tak lagi terdengar riuh.

“Airnya tenang, tapi kami tahu ada bahaya di dalamnya,” kata Juwariyah, warga Pekon Sripurnomo.

Tim BKSDA mengingatkan, konflik ini bukan hanya soal buaya yang menjadi agresif, tapi juga tentang krisis ekologis yang mempersempit ruang hidup mereka.

“Buaya ini tidak datang untuk berburu manusia. Mereka datang karena dipaksa oleh keadaan—habitat rusak, pakan hilang, dan ruang hidup mereka menyempit,” jelas Yuliar.

Berikut daftar serangan buaya di Way Semaka sepanjang 2024–2025:

NoNamaUsiaTanggal KejadianLokasiKondisi
1Painah5124–25 Juni 2024Pekon SripurnomoMeninggal dunia
2Ngatini5824 Juni 2024Pekon SripurnomoLuka-luka
3Maryati4513 Mei 2025Dusun Sukadamai, SripurnomoLuka parah
4Wasim8030 Juni 2025Pekon SripurnomoMeninggal dunia

Kini, perangkap-perangkap yang dipasang di Way Semaka bukan sekadar untuk menangkap predator. Ia adalah simbol dari krisis yang lebih besar—kerusakan alam yang menciptakan konflik antara manusia dan satwa liar.

Jika tidak segera dilakukan pemulihan habitat dan edukasi mitigasi konflik, maka Way Semaka tak hanya akan terus membawa air, tapi juga derai air mata. (*)

Editor Sigit Pamungkas