Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Jumat, 04 Juli 2025

Pangan Balak Satukan Warga Sukajaya, Tradisi Adat Hidupkan Semangat Budaya Lokal

Oleh Sayuti

Berita
tradisi adat Pangan Balak digelar saat perayaan Hari Ulang Tahun ke-14 desa Sukajaya: Foto: Berdikari.co

Berdikari.co, Tanggamus – Suasana hangat menyelimuti Pekon (Desa) Sukajaya, Kecamatan Semaka, saat perayaan Hari Ulang Tahun ke-14 desa berlangsung meriah. Namun tahun ini terasa istimewa—bukan sekadar perayaan, melainkan sebuah kebangkitan budaya. Untuk pertama kalinya, tradisi adat Pangan Balak digelar, menyatukan seluruh lapisan masyarakat dalam semangat gotong royong dan pelestarian warisan leluhur.

Sejak pagi, aroma rempah menguar dari dapur-dapur rumah warga yang sejak subuh bergotong royong menyiapkan hidangan. Di tengah langit cerah dan hembusan angin lembut, tawa anak-anak berpadu dengan langkah para peserta karnaval budaya yang mengenakan pakaian adat Lampung, menghidupkan kembali denyut tradisi yang sempat meredup.

“Ini bukan hanya tentang makan bersama. Pangan Balak adalah hati dan jati diri kita sebagai orang Lampung,” ujar Abdul Karim, Kepala Pekon Sukajaya sekaligus Ketua APDESI Kecamatan Semaka, Jumat (4/7/2025).

Abdul Karim menegaskan, tradisi ini akan menjadi agenda tahunan sebagai gerakan pelestarian adat, bukan sekadar seremonial. Acara tersebut dihadiri para tokoh adat, seperti Batin Mangku, Batin Minak Ayu, serta warga dari berbagai penjuru kecamatan—dari Pematangsawa hingga Pengikhan, Dalom hingga Jukhagan—yang larut dalam suasana penuh kekeluargaan.

“Saya sampai merinding lihat anak-anak muda ikut nari piccak khakot dan sekkhah busekhah. Ini jarang sekali sekarang. Rasanya seperti kembali ke masa kecil,” ucap Sarni (52), warga setempat, dengan mata berkaca-kaca.

Rangkaian acara dimulai dengan karnaval budaya arak buarak, lalu dilanjutkan dengan pertunjukan tari pedang, pencak silat, hingga berbagai ritual adat yang menggambarkan nilai kearifan lokal. Pada malam harinya, panggung pentas seni menampilkan tari Sambayan Mulli Menganai dari sanggar Gemapusaka, menyimbolkan harmoni antara laki-laki dan perempuan dalam struktur adat Lampung.

“Saya baru pertama kali ikut Pangan Balak. Ternyata maknanya dalam sekali—ada filosofi gotong royong, rasa syukur, dan kebersamaan. Kami yang muda jadi makin cinta budaya sendiri,” ujar Rendi (21), peserta karnaval.

Puncak acara akan ditutup Sabtu malam dengan pagelaran wayang kulit, menandai akhir dari rangkaian perayaan HUT Pekon Sukajaya yang berlangsung sejak 3 Juli 2025.

Namun bagi warga, semangat hari itu tak akan berhenti di panggung. Ia akan terus hidup dalam percakapan, dalam cerita anak-anak, dan dalam setiap langkah pelestarian identitas budaya.

“Pangan Balak adalah cermin siapa kita. Saya harap pekon-pekon lain di Semaka bisa ikut melestarikan tradisi ini. Budaya kita kaya, tinggal bagaimana kita menjaganya,” tutup Abdul Karim.

Di bawah lampu gantung dan iringan musik tradisional, warga dari segala usia duduk bersisian di meja panjang penuh hidangan khas. Tak ada sekat antara tua dan muda, laki-laki dan perempuan. Hanya tawa, cerita, dan rasa syukur yang mengalir di antara mereka—potret kecil tentang Indonesia yang rukun, yang hidup dari akar budayanya.
(*)

Editor Sigit Pamungkas