Berdikari.co, Bandar Lampung - Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung
(UBL), Benny Karya Limantara, mengatakan perlu pengawasan ketat dalam memantau
pelaksanaan anggaran umrah dan perjalanan wisata rohani senilai Rp10 miliar di
Biro Kesra Provinsi Lampung.
Benny menilai, penggunaan dana APBD untuk kegiatan tersebut perlu diawasi
ketat karena berpotensi tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan keuangan negara
yang baik.
“Alokasi anggaran sebesar itu patut diawasi secara ketat karena menggunakan
dana publik yang seharusnya diarahkan untuk kepentingan masyarakat luas dan
lebih mendesak,” kata Benny, pada Kamis (3/7/2025).
Menurut dia, secara hukum administrasi dan keuangan negara, setiap
penggunaan anggaran pemerintah wajib memenuhi prinsip efisiensi, efektivitas,
akuntabilitas, dan transparansi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keuangan
Negara dan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang pengelolaan keuangan daerah.
“Jika tidak ada justifikasi yang kuat atas manfaat langsung bagi masyarakat
luas, maka penganggaran ini berpotensi bertentangan dengan prinsip value for money,” tegasnya.
Lebih lanjut, Benny mengatakan bahwa transparansi dalam pelaksanaan program
umrah dan perjalanan rohani tersebut masih lemah. Ia menyoroti minimnya
keterbukaan informasi kepada publik.
“Belum ada informasi terbuka yang memadai mengenai kriteria peserta, mekanisme
pemilihan, rincian biaya per peserta, pihak penyedia jasa perjalanan, hingga
laporan pertanggungjawaban,” paparnya.
Padahal, lanjut dia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik mewajibkan seluruh badan publik, termasuk Biro Kesra, untuk
menyampaikan informasi penggunaan APBD secara terbuka.
Sebagai bentuk perbaikan, Benny memberikan sejumlah rekomendasi agar
pengelolaan anggaran tersebut menjadi lebih akuntabel dan tepat sasaran.
“Pertama, penetapan kriteria peserta harus dituangkan secara resmi dalam
bentuk keputusan kepala daerah atau kepala biro untuk menghindari diskriminasi
atau keberpihakan politik,” ujarnya.
Selain itu, mekanisme pemilihan peserta juga harus transparan dan dapat
diaudit. Ia menekankan pentingnya adanya indikator manfaat yang terukur
terhadap pelayanan publik, bukan hanya kegiatan yang bersifat seremonial.
“Penyedia jasa perjalanan pun harus dipilih melalui mekanisme pengadaan
yang sesuai dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan
Jasa Pemerintah,” tegasnya.
Untuk mencegah potensi penyimpangan, Benny menekankan pentingnya mengikuti
seluruh prosedur penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan sebagaimana diatur
dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020.
“Dokumen perencanaan seperti TOR/KAK, RAB yang wajar, dan jadwal kegiatan
harus dibuat dengan matang. Selain itu, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah
(APIP) perlu dilibatkan sejak tahap awal,” terangnya.
Ia juga mendorong agar laporan realisasi anggaran diunggah secara terbuka
di situs resmi Pemprov Lampung, serta dibuka kanal pengaduan publik yang mudah
diakses masyarakat.
Menurut Benny, DPRD Lampung juga memegang peran penting dalam pengawasan
anggaran tersebut, sesuai fungsi budgeting dan controlling yang dimilikinya berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
“DPRD wajib meminta laporan rutin dari Biro Kesra, baik melalui rapat kerja
maupun kunjungan lapangan. Jika ditemukan indikasi penyimpangan, pembentukan
panitia khusus (Pansus) perlu didorong,” jelasnya.
Ia menyarankan, hasil pengawasan DPRD juga sebaiknya disampaikan secara
terbuka kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban lembaga legislatif
kepada masyarakat.
Sementara itu, pengamat pemerintahan Universitas Lampung (Unila), Dedy
Hermawan, menilai program umrah dan wisata rohani harus dikaji secara cermat
dan objektif, baik dari sisi manfaat publik maupun skala prioritas kebijakan
daerah.
“Dalam perspektif kebijakan publik, sebuah program akan layak dijalankan
apabila memiliki legitimasi yang kuat. Artinya, program ini harus sesuai dengan
aspirasi publik dan menjawab persoalan utama masyarakat di Provinsi Lampung,”
kata Dedy Hermawan, pada Kamis (3/7/2025).
Dedy juga mempertanyakan apakah program ini sejalan dengan janji politik
Gubernur Lampung saat kampanye Pilkada lalu dan apakah program tersebut
merupakan prioritas dalam situasi keterbatasan fiskal dan kebijakan efisiensi
anggaran.
“Perlu dipertimbangkan dengan matang, karena masih banyak persoalan yang
jauh lebih mendesak, seperti kemiskinan, perbaikan infrastruktur jalan, dan
pelayanan publik lainnya yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat,”
ungkapnya.
Terkait aspek transparansi, Dedy menyebut ukuran sederhananya adalah
keterbukaan informasi kepada publik. Jika rincian anggaran, proses rekrutmen
peserta, serta kriteria dan mekanisme pelaksanaan telah dipublikasikan secara
terbuka, maka program dapat dinilai transparan.
“Transparansi tidak hanya soal anggaran. Publik berhak tahu siapa yang
berangkat, bagaimana proses seleksinya, siapa yang menyeleksi, dan apa dampak
dari program tersebut. Termasuk juga apakah masyarakat dilibatkan dalam tahap
perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi,” kata Dedy.
Agar pelaksanaan program berjalan baik dan terhindar dari persoalan hukum,
ia menyarankan kepada Pemerintah Provinsi Lampung untuk menyusun panduan teknis
yang jelas dan terbuka. Selain itu, kerja sama dengan aparat penegak hukum juga
penting untuk mengawal program sejak dini.
“Program dengan semangat religius seperti ini tidak boleh menjadi celah
timbulnya persoalan hukum di kemudian hari. Maka, sejak awal harus dikawal
secara ketat dari sisi regulasi dan integritas pelaksanaan,” ujarnya.
Dedy juga menekankan pentingnya pengawasan yang ketat dan berlapis, tidak
hanya saat program berjalan, tetapi sejak tahap perencanaan.
“Pengawasan harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari proses perencanaan, rekrutmen peserta, pelaksanaan, hingga pemberangkatan. Libatkan pengawas internal seperti Inspektorat, juga pengawas eksternal seperti DPRD dan elemen masyarakat sipil,” pungkasnya. (*)