Berdikari.co,
Bandar Lampung –
Pemerintah didesak untuk melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh pemegang
Hak Guna Usaha (HGU) berskala besar di Provinsi Lampung. Dorongan ini
disampaikan pemerhati sosial dan lingkungan hidup, Rosim Nyerupa, menyusul
langkah Komisi II DPR RI yang meminta Kementerian ATR/BPN mengukur ulang dan
menginventarisasi areal HGU milik PT Sugar Group Companies (SGC).
“Langkah
audit terhadap SGC memang perlu diapresiasi, namun tak cukup jika hanya
menyasar satu perusahaan. Banyak perusahaan besar lain di Lampung yang juga
perlu diaudit,” ujar Rosim, Sabtu (19/7/2025).
Ia menyebut
sejumlah nama korporasi besar yang menguasai lahan dalam skala luas, seperti
Sinar Mas, Gajah Tunggal, Sinar Laut, Sungai Budi Group, Great Giant Pineapple
(GGP), PT AKG di Way Kanan, PT Benil di Tulang Bawang, dan PT Gunung Madu
Plantation (GMP).
Menurut
Rosim, audit menyeluruh diperlukan untuk mengungkap berbagai persoalan, seperti
potensi tumpang tindih lahan, keabsahan alih kepemilikan tanah, hingga
kepatuhan korporasi terhadap kewajiban pajak dan kontribusi kepada daerah.
“Selama ini
masyarakat hanya melihat potret parsial. Padahal jika dihitung akumulatif, bisa
jadi ada perusahaan yang menguasai lahan jauh lebih luas dari SGC, hanya saja
tersebar dan luput dari sorotan media. Kita juga perlu tahu seberapa besar
kontribusi mereka bagi masyarakat Lampung,” tegasnya.
Rosim turut
menyinggung kasus dugaan manipulasi pajak oleh PT Gunung Madu Plantation (GMP)
yang sempat diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2021. Saat itu,
negara disebut berpotensi mengalami kerugian hingga Rp588 miliar akibat
rekayasa pelaporan pajak yang dilakukan oleh konsultan eksternal perusahaan
tersebut.
“Ini bukan
sekadar pelanggaran administratif. Ini menandakan lemahnya pengawasan fiskal
negara terhadap korporasi besar. Kalau begitu, bagaimana dengan pengelolaan HGU
mereka?” ujar Rosim.
Lebih
lanjut, ia menyoroti dampak ekologis dari praktik industri skala besar di
Lampung, mulai dari pembakaran lahan tebu, sistem monokultur yang merusak
kesuburan tanah, hingga eksploitasi air tanah tanpa izin resmi (SIPA).
Menurutnya, aktivitas seperti ini dapat memicu kerusakan lingkungan dan memperburuk
risiko bencana ekologis.
Rosim
menegaskan bahwa audit HGU bukan sekadar proses teknis, tetapi bagian dari
pelaksanaan nyata Reforma Agraria sebagai amanat konstitusi.
“Ketimpangan
penguasaan lahan dan minimnya transparansi tata ruang adalah akar dari konflik
agraria yang terus berulang di Lampung. Sudah waktunya negara berpihak pada
rakyat, bukan konglomerasi. Audit HGU adalah amanat politik dan moral,”
tandasnya.
Ia juga
mendorong pemerintah untuk membuka data kepemilikan HGU kepada publik secara transparan.
“Publik berhak tahu siapa yang menguasai lahan, berapa luasnya, dan sejauh mana
kontribusinya bagi daerah dan masyarakat,” tambah Rosim.
Audit yang
dilakukan, tegasnya, harus bersifat independen, menyeluruh, dan tanpa kesan
tebang pilih agar benar-benar menghadirkan keadilan bagi seluruh rakyat
Lampung. (*)