Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Kamis, 31 Juli 2025

PPTTI Ungkap Industri Tepung Tapioka Lampung Terancam Mati

Oleh ADMIN

Berita
Ilustrasi

Berdikari.co, Metro - Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) menyebut industri tapioka di Provinsi Lampung terancam mati jika pemerintah tidak segera memberlakukan moratorium impor tepung tapioka.

Direktur Eksekutif PPTTI, Haru Nurdi, yang mewakili Ketua Umum PPTTI Welly Soegiono, mendesak pemerintah pusat untuk segera mengambil langkah konkret dalam menyelamatkan industri tapioka nasional, yang dinilai tengah berada dalam tekanan berat—khususnya di Lampung sebagai salah satu sentra utama produksi singkong dan tepung tapioka.

Haru menjelaskan, sejumlah persoalan mengancam kelangsungan usaha sektor ini, antara lain masuknya produk impor, ketidakseimbangan harga, serta perbedaan pandangan antara petani dan pelaku industri terkait kualitas bahan baku.

“PPTTI meminta pemerintah pusat memberlakukan moratorium terhadap impor tepung tapioka. Impor yang terus berjalan membuat harga produk dalam negeri turun signifikan dan tidak terserap pasar,” kata Haru, Rabu (30/7/2025).

“Lebih dari 250.000 ton tepung tapioka tertahan di gudang-gudang pabrik karena tidak laku terjual. Saat terjadi demonstrasi soal singkong, pabrik selalu jadi sasaran seolah-olah kami yang bersalah. Padahal, ada faktor lain yaitu lapak. Tapi para pelapak tidak pernah didemo,” lanjutnya.

Saat ini, harga tepung tapioka berada di kisaran Rp4.700 hingga Rp5.000 per kilogram, turun dari harga sebelumnya Rp6.000 hingga Rp6.500 per kilogram.

PPTTI juga mengusulkan agar pemerintah pusat menetapkan harga beli singkong secara nasional, bukan hanya di wilayah tertentu seperti Lampung.

“Kebijakan harga beli singkong yang hanya diterapkan di Lampung menimbulkan ketimpangan antar daerah. Salah satu masalah utama adalah pelapak yang membeli singkong petani lebih murah dibandingkan pabrik,” ungkap Haru.

Ia mencontohkan Instruksi Gubernur Lampung No. 2 Tahun 2025 yang menetapkan harga singkong sebesar Rp1.350 per kilogram dengan potongan maksimal 30 persen. Menurutnya, kebijakan ini sulit diterapkan secara maksimal karena tidak seimbang dengan harga jual tepung di pasar saat ini.

Haru juga menyoroti perbedaan persepsi antara petani dan industri. Petani lebih fokus pada volume panen, sedangkan industri mengutamakan kualitas bahan baku, terutama kadar aci dalam singkong untuk produksi tepung.

“Kami meminta pemerintah pusat melalui kementerian terkait untuk membina dan mengedukasi petani agar dapat menghasilkan singkong dengan kadar aci sesuai kebutuhan industri,” ujarnya.

PPTTI juga menekankan pentingnya pemilihan pupuk yang tepat bagi tanaman singkong. Haru menjelaskan bahwa pupuk singkong tidak bisa disamakan dengan pupuk untuk komoditas lain seperti padi.

Menurutnya, terdapat lima pemangku kepentingan utama dalam rantai industri singkong nasional, yakni petani, pelaku industri, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku impor. Sinergi antar pemangku kepentingan sangat dibutuhkan demi menjaga stabilitas produksi dan harga.

“Intinya, ada dua poin utama yang kami ajukan kepada pemerintah pusat. Pertama, moratorium impor tepung tapioka. Kedua, penetapan harga beli singkong secara nasional,” tegas Haru.

“Kedua langkah ini sangat penting untuk mencegah penurunan lebih lanjut di industri tapioka, sekaligus menjaga keberlanjutan usaha petani dan pelaku industri dalam negeri,” pungkasnya. (*)

Editor Sigit Pamungkas