Berdikari.co, Lampung Barat - Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL) Benny Karya Limantara, mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk melakukan penyelidikan terkait adanya dugaan kebocoran retribusi Pasar Tematik Wisata Lumbok Seminung yang terletak di Kecamatan Lumbok Seminung, Kabupaten Lampung Barat (Lambar).
Hal itu disampaikan Benny menanggapi adanya dugaan kebocoran retribusi di Pasar Tematik Wisata Lumbok Seminung, diketahui perputaran uang di salah satu destinasi wisata baru itu mencapai puluhan juta per bulan dan di taksir mencapai ratusan juta sejak diresmikan pada 14 Juni 2025.
Benny menilai kasus ini tidak hanya berdampak pada kerugian keuangan daerah, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah jika tidak segera ditangani secara transparan dan tegas.
Menurut Benny, dugaan kebocoran retribusi pasar menyangkut dua aspek hukum yang perlu ditelusuri, ranah administratif dan pidana.
Dalam aspek administratif, ia menjelaskan bahwa pemungutan retribusi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta peraturan daerah (Perda) yang menjadi dasar penetapan retribusi.
Apabila pemungutan atau penyetoran retribusi tidak sesuai prosedur, hal ini termasuk pelanggaran administratif yang dapat dikenai sanksi mulai dari teguran, denda, hingga pemberhentian pengelola.
Dalam aspek pidana, Benny menyebut adanya potensi pelanggaran hukum jika terbukti terjadi penyalahgunaan atau penggelapan dana retribusi.
“Jika ditemukan adanya praktik pungutan liar atau penyalahgunaan kewenangan, maka perbuatan tersebut dapat dijerat dengan Pasal 3 dan 8 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), serta Pasal 12 huruf e UU Tipikor mengenai pungutan liar oleh penyelenggara negara. Selain itu, perbuatan tersebut juga bisa dijerat dengan Pasal 372 dan 374 KUHP tentang penggelapan,” kata Benny, saat dimintai tanggapan Selasa (5/8/2025).
Benny menegaskan bahwa jika benar ada retribusi yang tidak disetorkan ke kas daerah sesuai ketentuan, maka hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip akuntabilitas keuangan daerah.
"Dana retribusi pasar yang berasal dari masyarakat seharusnya masuk dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jika tidak, maka ini dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara meskipun pengelolaannya dilakukan oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis),” ujarnya, seperti dikutip dari kupastuntas.co.
Ia mendorong agar pemerintah daerah segera melakukan audit investigasi melalui Inspektorat Daerah untuk memastikan kebenaran dugaan tersebut.
"Audit khusus harus segera dilakukan untuk mengukur besarnya kebocoran dan mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab. Jika audit menemukan indikasi kuat kerugian negara, maka hasilnya harus segera dilimpahkan ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk ditindaklanjuti,” tegas Benny.
Selain itu, ia menilai diperlukan langkah penegakan hukum yang jelas. Jika hasil audit menunjukkan adanya bukti penyalahgunaan keuangan, maka aparat penegak hukum (APH) harus segera melakukan penyelidikan pidana.
"Sanksi administratif saja tidak cukup. Jika terbukti ada unsur pidana, aparat hukum harus bertindak tegas untuk menindak oknum yang terlibat,” katanya.
Benny juga menyarankan agar dilakukan evaluasi terhadap pengelolaan pasar tematik, khususnya terkait kinerja Pokdarwis yang selama ini dipercaya mengelola retribusi.
"Jika pengelola terbukti lalai atau sengaja tidak menyetorkan retribusi, maka harus ada sanksi administratif yang tegas, termasuk evaluasi menyeluruh terhadap pola kerja mereka. Pemerintah daerah juga dapat menunjuk pengelola lain yang lebih kredibel jika diperlukan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Benny mengusulkan agar Pemkab Lampung Barat menerapkan sistem e-retribusi sebagai solusi jangka panjang. Menurutnya, penerapan sistem pembayaran digital akan meminimalisir kebocoran karena setiap transaksi akan tercatat secara otomatis dan transparan.
"Sistem manual yang bergantung pada pencatatan konvensional rawan disalahgunakan. E-retribusi akan memudahkan pengawasan dan meminimalisir celah penyimpangan,” imbuhnya.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi total dengan cara mempublikasikan laporan penerimaan dan penggunaan dana retribusi secara berkala kepada publik.
Hal ini menurut Benny, akan memperkuat kepercayaan masyarakat sekaligus memicu partisipasi pengawasan dari berbagai pihak, termasuk DPRD, LSM, media, dan masyarakat umum.
“Kasus ini menunjukkan bahwa pengawasan partisipatif sangat diperlukan. Jika ada transparansi dan masyarakat ikut mengawasi, maka praktik penyalahgunaan atau kebocoran retribusi dapat diminimalisir,” jelasnya.
Sebagai penutup, Benny menegaskan bahwa penyelesaian dugaan kebocoran retribusi pasar tematik Lumbok Seminung tidak boleh berhenti pada klarifikasi administratif semata.
“Dugaan kebocoran retribusi pasar tematik tidak hanya merugikan keuangan daerah, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Karena itu, penyelesaian tidak cukup dengan klarifikasi administratif perlu audit mendalam, transparansi data, dan jika terbukti, penegakan hukum pidana secara tegas terhadap oknum yang menyalahgunakan kewenangan,” tegasnya.
Ia berharap, kasus ini dapat menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki tata kelola retribusi pasar agar lebih akuntabel, profesional, dan transparan, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat kembali pulih. (*)