Berdikari.co, Bandar Lampung - Pemilik kafe di Bandar
Lampung memilih mengurangi memutar musik di tempat usahanya untuk menghindari
membayar royalti.
Owner Small Block Coffee yang berada di Jalan Teuku
Umar, Kedaton, Bandar Lampung, Galih Putra Ramadhan, mengaku pada dasarnya para
pelaku usaha keberatan dengan kebijakan penarikan royalti tersebut.
"Pada dasarnya kita pelaku usaha kedai kopi
khususnya gak setuju adanya penarikan royalti untuk pemutaran lagu atau
musik," kata Galih, Senin (11/8/2025).
Menurut Galih, untuk menghindari membayar royalti,
maka solusi paling realistis adalah membatasi atau bahkan menghentikan
pemutaran lagu di tempat usahanya.
"Tapi balik lagi kita sebagai warga negara yang
baik harus patuh sama kebijakan pemerintah. Kalau memang ada itu yang paling
kita batasi untuk pemutaran lagu di kedai kita," tuturnya.
Ia mengaku, selama ini kedainya menggunakan layanan
streaming musik berbayar seperti Spotify Premium untuk memutar lagu.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa karakteristik
pengunjung kedainya memang lebih banyak datang untuk berbincang atau bekerja
menggunakan laptop, dan sebagian besar dari mereka menggunakan headset pribadi.
"Selama ini kita putar lagu menggunakan Spotify,
kita juga bayar sebenarnya. Kebanyakan customer yang datang memang hanya
mengobrol. Kalau ada yang kerja atau laptopan, mereka pakai headset
masing-masing," jelasnya.
Seorang karyawan kafe lainnya di Pahoman, Bandar
Lampung, Sinta, menuturkan kafe tempatnya bekerja yang biasanya rutin memutar
lagu kekinian dari domestik hingga mancanegara, kini mulai dikurangi.
"Sudah ada semingguan gak boleh pasang lagu lagi.
Katanya karena harus bayar," ucap Sinta.
Sinta dan beberapa teman karyawannya biasanya memutar
lagu yang tengah populer dari gawai yang disambungkan ke pengeras suara
bluetooth. Kedai tersebut sudah berlangganan salah satu layanan musik digital
yang difungsikan khusus untuk memutar lagu-lagu populer ketika kedai
beroperasi.
Sinta mengaku, baru mengerti jika berlangganan layanan
musik digital bukan berarti lagu-lagu dari layanan tersebut boleh digunakan di
tempat komersil.
"Ternyata cuma boleh didengerin sendiri ya.
Mikirnya kan ini sudah langganan, jadi ya bebas mau disetel di mana-mana,"
kata Sinta.
Bagi dia, musik di tempatnya bekerja ini bukan hanya
untuk menghibur pengunjung tapi juga menjadi penyemangat mereka bekerja.
"Kadang kita pasang lagu yang kita suka juga biar
enak mood-nya. Sekarang ya sepi saja begini," ucapnya.
Ia mengaku khawatir para pengunjung yang dominan anak
muda tidak mau datang lagi jika kafenya tidak lagi memutar musik.
Sementara itu, DPRD Provinsi Lampung menekankan
perlunya penerapan secara bertahap dan sosialisasi luas agar kebijakan royalti
ini tidak membebani pelaku usaha seperti hotel, restoran, kafe, dan toko di
Lampung.
Anggota Komisi III DPRD Provinsi Lampung, Munir Abdul
Harris, mengatakan kebijakan ini secara prinsip baik karena memberikan
penghargaan yang layak kepada pencipta lagu dan musisi.
"Royalti ini penting untuk memberi hak yang
pantas bagi para musisi. Tapi, pelaku usaha juga perlu difasilitasi agar paham
prosedurnya dan tidak kaget saat harus membayar," ujarnya, Senin
(11/8/2025).
Munir mengungkapkan, hingga saat ini belum semua
pelaku usaha di Lampung memahami kewajiban tersebut. Sosialisasi dari
pemerintah dan LMKN dinilai masih terbatas, sehingga sebagian besar pengusaha
belum mengetahui mekanisme penghitungan tarif maupun cara pembayarannya.
Munir menilai, jika penerapan royalti dilakukan secara
kaku tanpa mempertimbangkan kondisi di lapangan, bisa berdampak pada suasana di
hotel, restoran, dan kafe yang menjadi kurang menarik.
"Kalau suasananya kering tanpa musik, konsumen
juga bisa merasa kurang nyaman," kata Munir.
Untuk itu, DPRD mendorong adanya solusi kompromi,
seperti pemberian masa transisi, tarif keringanan bagi UMKM, serta dorongan
bagi pelaku usaha untuk memanfaatkan musik bebas royalti atau berkolaborasi
dengan musisi lokal menciptakan karya sendiri.
"Kalau hotel atau kafe memanfaatkan karya musisi
Lampung, ini bisa mengurangi beban biaya sekaligus mempromosikan musik
daerah," tegasnya.
Ia berharap, kebijakan royalti ini tidak hanya
menguntungkan musisi, tetapi juga mendorong tumbuhnya ekosistem musik dan usaha
kreatif di Lampung secara berkelanjutan.
"Idealnya, royalti menjadi dorongan positif,
bukan beban tambahan yang memberatkan," ujar Munir.
Dampak penerapan royalti lagu ini, disikapi oleh
sejumlah musisi dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejak bulan Maret 2025 lalu, sebanyak 29 musisi mengajukan gugatan uji materi UU Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi terkait aturan royalti. Pengajuan uji materiil tersebut telah terdaftar dengan Nomor: 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025. (*)

berdikari









