Berdikari.co, Tanggamus – Dugaan peredaran beras premium oplosan mencuat di sekitar Kompleks Perkantoran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tanggamus, Lampung. Beras yang dipasarkan dengan kemasan rapi dan label "premium" tersebut ternyata dikeluhkan pembeli karena kualitasnya tidak sesuai harapan.
Produk yang diproduksi di wilayah Kotaagung Timur ini dijual dengan harga Rp150.000 per sak (10 kg) atau Rp15.000 per kilogram. Namun, konsumen mulai menyadari ada kejanggalan setelah mengolah beras tersebut.
“Berasnya putih dan terlihat bagus, tapi setelah dimasak nasinya keras, seperti beras bantuan (dolog). Rasanya juga hambar,” kata seorang pemilik warung di Pekon Kampung Baru, Jumat (15/8/2025).
Ia mengaku telah menerima banyak komplain dari pelanggan dalam sepekan terakhir. Bahkan beberapa pelanggan membawa contoh nasi yang sudah dimasak untuk menunjukkan penurunan kualitas. Keluhan tersebut sudah disampaikan kepada pihak pabrik melalui sopir pengantar beras, namun belum mendapat respons.
Hal senada diungkapkan pemilik rumah makan di kawasan perkantoran Pemkab Tanggamus yang enggan disebutkan namanya.
“Untuk rumah tangga mungkin masih bisa diterima, tapi untuk usaha seperti kami, nasi yang cepat kering dan rasanya hambar jelas merugikan. Pelanggan mengeluh, penjualan ikut terdampak,” ujarnya.
Menanggapi kabar tersebut, Kepala Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) Kabupaten Tanggamus, Retno Noviana Damayanti, mengaku belum mengetahui adanya peredaran beras oplosan.
Saat ditemui usai menghadiri Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI serta DPD RI di Gedung DPRD Tanggamus, Retno justru balik bertanya, “Apanya yang dioplos?”
“Kalau dari pemantauan kami, belum ada temuan beras oplosan di Kabupaten Tanggamus. Kami juga belum menerima laporan resmi dari masyarakat,” ujarnya.
Meski demikian, Retno berjanji akan menindaklanjuti informasi ini dengan pengecekan langsung ke lapangan.
“Nanti kami akan cek langsung di lapangan untuk memastikannya,” tambahnya.
Praktik pengoplosan beras biasanya dilakukan dengan mencampur beras kualitas rendah dengan medium, kemudian dikemas ulang dan dijual sebagai beras premium. Modus serupa sebelumnya ditemukan di sejumlah daerah, seperti di Surakarta, yang mengungkap puluhan merek beras oplosan beredar di pasar.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 31 Tahun 2017, beras premium dan medium dibedakan berdasarkan kadar air (maksimal 14 persen) dan kadar butir patah (maksimal 15 persen untuk premium dan 25 persen untuk medium). Beras oplosan kerap tak memenuhi standar ini.
Warga berharap pemerintah daerah segera mengambil langkah tegas: melakukan uji sampel beras, menelusuri jalur distribusi, dan menindak oknum pelaku usaha yang terbukti melakukan pengoplosan demi keuntungan sepihak.
“Kalau tidak segera diawasi, masyarakat bisa terus dirugikan. Apalagi ini dijual dekat area kantor pemerintahan,” kata warga lain. (*)