Berdikari.co,
Bandar Lampung - Pengamat Sosial Universitas Lampung (Unila), Dewi Ayu, mengatakan
faktor ekonomi menjadi salah satu pemicu utama maraknya pernikahan dini di
pedesaan.
Dewi
menyebut, banyak keluarga menikahkan anak mereka dengan alasan untuk
meringankan beban hidup.
“Orang tua menganggap dengan menikahkan anak maka pengeluaran
rumah tangga berkurang. Anak yang sudah menikah dianggap tidak lagi menjadi
tanggung jawab penuh keluarga,” kata Dewi, Senin (25/8/2025).
Dewi
menjelaskan, minimnya pemahaman masyarakat pedesaan mengenai dampak pernikahan
dini juga menjadi penyebab lain. Menurutnya, sebagian besar orang tua belum
memahami konsekuensi kesehatan, mental, dan psikologis yang akan dialami anak
jika menikah di usia muda.
“Banyak keluarga tidak sadar bahwa menikahkan anak di usia dini
justru membuka masalah baru. Mereka belum siap secara mental, sehingga rawan
mengalami tekanan dalam rumah tangga,” jelasnya.
Selain
itu, Dewi menyoroti lemahnya kontrol orang tua terhadap anak di pedesaan.
Kesibukan mencari nafkah, seperti bekerja di ladang dan sawah, membuat orang
tua tidak maksimal mengawasi pergaulan anak. Padahal, menurutnya, pengawasan
orang tua sangat penting untuk mencegah anak terjerumus pada hal-hal negatif
yang dapat berujung pada pernikahan dini.
“Peran orang tua tidak bisa digantikan siapa pun. Orang tua
harus hadir memberi pemahaman, nasihat, serta menjadi tempat anak bertanya
sebelum mereka mengambil keputusan penting dalam hidupnya,” katanya.
Ia
juga mengungkapkan, sebagian masyarakat di desa masih memegang kuat anggapan
lama bahwa anak yang sudah remaja sebaiknya segera dinikahkan. Pola pikir
semacam ini turut memperkuat praktik pernikahan dini.
Dalam
pandangan Dewi, peran pemerintah menjadi sangat penting untuk memutus mata
rantai persoalan tersebut. Ia menegaskan bahwa pamong dan kepala desa tidak boleh
hanya fokus pada urusan pendapatan desa, tetapi juga harus peduli terhadap
masalah sosial.
“Pemerintah desa harus aktif melakukan sosialisasi. Melibatkan
tenaga kesehatan untuk menjelaskan dampak kesehatan, dan juga menghadirkan
pihak berkompeten lain yang bisa memberi pemahaman soal aturan hukum, termasuk
tentang batas minimal usia perkawinan sebagaimana diatur dalam undang-undang,”
papar Dewi.
Lebih
jauh, ia mengatakan bahwa pernikahan dini turut menyumbang tingginya angka
perceraian di Lampung. Banyak pasangan muda yang tidak siap secara mental
maupun ekonomi untuk berumah tangga, sehingga rumah tangga mereka tidak
bertahan lama.
“Data menunjukkan, perceraian kerap dipicu oleh ketidaksiapan
pasangan muda. Mereka belum matang secara psikologis maupun finansial, akhirnya
konflik rumah tangga tidak bisa dihindari,” pungkasnya. (*)