Berdikari.co, Bandar Lampung - Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik Universitas Lampung (Unila), Yusdianto, mengatakan eskalasi aksi demo beberapa hari terakhir merupakan refleksi nyata dari krisis ekonomi yang tengah melanda rakyat.
“Iya, ini tanda masyarakat sedang susah alias krisis ekonomi. Sesuai literatur, arahnya bisa menuju revolusi sosial yang tidak bisa ditolak,” kata Yusdianto, Minggu (31/8/2025).
Menurutnya, situasi ini sekaligus menjadi ujian berat bagi wibawa pemerintah. Jika tidak mampu mengelola kondisi tersebut, krisis sosial bisa semakin dalam dan berdampak luas.
“Di sinilah butuh kepiawaian pemerintah dalam membuat legacy yang tepat. Negara harus bertanggung jawab dalam memulihkan kondisi krisis ini, karena kalau tidak maka ke depan akan lebih parah,” tegasnya.
Yusdianto juga menyoroti banyaknya blunder pemerintah yang memperburuk keadaan. Mulai dari pembagian kekuasaan di level elit, hingga gaya hidup mewah para pejabat yang dinilai tidak menunjukkan adanya sense of crisis.
“Rakyat melihat ini sebagai ketimpangan. Apalagi tuntutan aksi sebelumnya tidak pernah terpenuhi, sementara keadaan ekonomi semakin terjepit. Maka wajar jika rakyat semakin kecewa,” ujarnya.
Ia melanjutkan, gejolak sosial ini juga bisa dimaknai sebagai tanda ‘kemarahan alam’ terhadap elit politik. Salah satunya ditunjukkan melalui polemik putusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang menimbulkan ketidakpuasan luas.
Lebih lanjut, Yusdianto menyarankan sejumlah langkah konkret yang wajib dilakukan pemerintah untuk meredam situasi. Pertama, melibatkan tokoh bangsa seperti ulama, guru besar, budayawan, dan guru bangsa untuk menenangkan aksi masyarakat.
"Kedua, pemerintah harus mengambil tindakan tegas kepada perusuh agar tidak memperluas kerusuhan," jelasnya.
Ketiga, segera melakukan evaluasi kebijakan yang tidak populis, seperti MBG (Makanan Bergizi Gratis), serta meluncurkan program jaminan dan pengamanan sosial untuk mengurangi beban rakyat.
Keempat, mengembalikan wibawa penegak hukum dengan memberhentikan Kapolri dan jajaran yang dinilai tidak kompeten.
“Kelima, perlu reformasi parlemen yang dimulai dari ketua partai. Anggota legislatif yang dinilai kontroversial, seperti Sahroni, Eko, dan Uya Kuya dan yang lainnya sebaiknya diberhentikan agar tidak semakin menimbulkan keresahan di masyarakat,” tegas Yusdianto.
Ia juga mengingatkan, tanpa langkah-langkah tersebut, krisis sosial berpotensi berkembang menjadi gelombang revolusi yang sulit dikendalikan.
“Pemerintah harus segera sadar bahwa rakyat sedang menuntut perubahan, bukan sekadar janji,” ungkapnya.
Sementara itu, Lampung Democracy Studies (LDS) menilai kondisi demokrasi di Indonesia saat ini berada dalam situasi yang mengkhawatirkan.
LDS menyebut akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah dan elite politik terus menumpuk dan berpotensi memperdalam krisis kepercayaan rakyat terhadap demokrasi.
Direktur LDS, Dedy Indra Prayoga, mengatakan kegagalan agenda reformasi yang menjadi cita-cita sejak 1998 kini semakin nyata.
Ia mengungkapkan, proses pembahasan sejumlah regulasi penting seperti UU Cipta Kerja, RKUHP, RUU TNI, hingga RKUHAP, tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna.
“Proses legislasi justru berlangsung elitis dan menjauh dari semangat demokrasi partisipatoris,” kata Dedy dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/8/2025).
Selain itu, Dedy menilai, kondisi ekonomi rakyat kian terhimpit. Pajak yang memberatkan, harga kebutuhan pokok yang melambung, serta minimnya lapangan kerja memperburuk kualitas hidup masyarakat.
“Sementara itu, gaya hidup mewah pejabat publik, kenaikan tunjangan DPR, dan maraknya kasus korupsi semakin mempertebal rasa ketidakadilan sosial,” ujarnya.
Ia juga menyoroti sikap pejabat publik yang dianggap tidak peka dalam merespons aspirasi masyarakat.
Dedy mencontohkan, pernyataan sejumlah anggota DPR seperti Adies Karding dan Ahmad Sahroni, yang mencerminkan sikap abai terhadap jeritan rakyat.
“Lebih buruk lagi, ketika rakyat menyampaikan aspirasi secara damai, negara merespons dengan represif. Kasus meninggalnya Affan Kurniawan saat aksi demonstrasi menjadi bukti nyata kegagalan negara melindungi hak konstitusional warganya,” jelasnya.
Menurut Dedy, kondisi tersebut sejalan dengan laporan Freedom House yang menunjukkan adanya penurunan serius dalam indeks demokrasi Indonesia.
Atas dasar itu, Dedy mendorong adanya reformasi menyeluruh, terutama di tubuh kepolisian dan partai politik. Polri, kata dia, harus kembali pada mandatnya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, bukan sebagai alat represi terhadap kebebasan sipil.
“Partai politik juga harus direformasi total. Partai tidak boleh menjadi kartel kekuasaan yang hanya mementingkan elite, melainkan ruang artikulasi nyata bagi kepentingan rakyat,” tegas Dedy.
Ia menerangkan, demokrasi hanya dapat bertahan bila rakyat merasa memiliki ruang adil untuk bersuara dan negara hadir untuk mendengar serta melindungi mereka.
“Jika arah bangsa terus berjalan seperti sekarang, yang kita hadapi bukan hanya krisis politik, tetapi juga krisis kepercayaan yang dapat mengguncang fondasi demokrasi itu sendiri,” pungkasnya. (*)
Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Senin 01 September 2025 dengan judul “Pengamat: Refleksi Nyata dari Krisis Ekonomi”