Berdikari.co, Bandar Lampung – Kasus dugaan korupsi dana Participating Interest (PI) 10 persen di Wilayah Kerja Offshore South East Sumatera (WK OSES) menjadi sorotan tajam publik. Pasalnya, meski sejumlah langkah hukum telah diambil, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung belum juga menetapkan tersangka, termasuk terhadap nama-nama besar yang disebut dalam pusaran kasus tersebut.
Salah satu sorotan datang dari Lampung Corruption Watch (LCW). Ketua LCW, Juendi Leksa Utama, menilai bahwa lambannya Kejati dalam menetapkan tersangka berisiko merusak kepercayaan masyarakat terhadap integritas penegakan hukum di daerah.
“Kalau penyidik Kejati sudah memiliki bukti yang cukup, seharusnya tidak perlu ragu untuk menetapkan tersangka. Kepastian hukum dibutuhkan, tidak hanya oleh publik, tapi juga oleh para pihak yang telah diperiksa,” ujar Juendi, Minggu (7/9/2025).
Menurut LCW, publik berhak mengetahui siapa yang harus bertanggung jawab atas pengelolaan dana PI yang bernilai ratusan miliar rupiah tersebut. Apalagi, dana itu seharusnya menjadi sumber penguatan ekonomi daerah, bukan malah tersangkut dalam dugaan penyimpangan.
Selain mendorong penetapan tersangka, LCW juga meminta Kejati untuk tidak berhenti hanya pada penerapan pasal korupsi, melainkan juga menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
“Sering kali dana hasil korupsi disamarkan melalui berbagai cara. Penerapan TPPU penting agar penyitaan aset bisa diperluas, termasuk aset yang telah dialihkan atau dibelikan barang mewah,” kata Juendi.
Langkah penyitaan terhadap aset milik mantan Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi, senilai Rp38,5 miliar diapresiasi LCW. Namun, menurut Juendi, tanpa penetapan tersangka, proses hukum akan terkesan mandek.
“Penyitaan itu penting, tapi bukan akhir dari proses. Tanpa tersangka, publik akan mempertanyakan keseriusan Kejati dalam membongkar kasus ini,” tegasnya.
Pemeriksaan terhadap Arinal Djunaidi oleh Kejati Lampung dilakukan secara marathon selama 14 jam, pada Kamis (4/9/2025). Ia dimintai keterangan terkait penempatan dana PI senilai Rp190 miliar di Bank Lampung menjelang berakhirnya masa jabatannya.
Kepada media, Arinal berdalih bahwa langkah tersebut bertujuan agar dana bisa segera dimanfaatkan oleh BUMD sebagai modal usaha, tanpa harus menunggu alokasi anggaran di APBD atau mengambil pinjaman berbunga tinggi. Namun, penyidik masih mendalami apakah kebijakan tersebut melanggar hukum atau mengandung unsur korupsi.
Diketahui, total dana PI yang diterima oleh Pemprov Lampung dari WK OSES mencapai US $17,2 juta atau setara Rp271 miliar. Dana ini disalurkan melalui PT Lampung Jasa Utama (LJU), anak perusahaan dari PT Lampung Energi Berjaya (LEB), namun dalam proses pengelolaannya diduga terjadi penyimpangan.
Kejati Lampung sebelumnya telah melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi, termasuk kantor PT LEB, serta menyita dokumen penting, alat bukti elektronik, dan uang tunai dalam jumlah besar. Meski demikian, belum ada satu pun tersangka yang diumumkan secara resmi.
Juendi menilai bahwa pengusutan kasus ini menjadi ujian penting bagi Kejati Lampung untuk membuktikan komitmennya dalam pemberantasan korupsi, terutama terhadap perkara besar yang menyangkut pejabat tinggi.
“Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga soal keberanian. Publik ingin tahu: apakah Kejati Lampung berani bertindak tegas tanpa kompromi, atau justru tunduk pada tekanan politik?” ujarnya.
LCW berharap, Kejati tidak ragu-ragu mengambil langkah tegas dan transparan. Juendi menegaskan bahwa hanya dengan penegakan hukum yang konsisten dan bebas dari intervensi, kepercayaan publik terhadap lembaga hukum bisa dipulihkan.
“Ini momen penting untuk menunjukkan bahwa hukum tidak pandang bulu. Jangan biarkan publik curiga bahwa ada kompromi dalam penanganan kasus ini,” tutupnya. (*)