Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Minggu, 14 September 2025

Soal Dugaan Korupsi Dana PI, Pengamat: Penyidik Jangan Buat Gaduh Tanpa Hasil

Oleh Yudha Priyanda

Berita
Pengamat Hukum dari Universitas Lampung, Dr. Yusdianto, S.H., M.H., Foto: Ist.

Berdikari.co, Bandar Lampung - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Lampung kini tengah menyidik kasus dugaan korupsi dana participating interest (PI) 10 persen pada Wilayah Kerja Offshore South East Sumatra (WK OSES).

Dalam kasus ini, Gubernur Lampung periode 2019–2024, Arinal Djunaidi (AD), ikut terseret dengan status sebagai saksi. Sejumlah aset miliknya disita oleh Kejati, terdiri atas Rp3,5 miliar (7 unit kendaraan), Rp1,29 miliar (logam mulia 645 gram), Rp1,36 miliar (uang tunai rupiah dan asing), Rp4,40 miliar (deposito di beberapa bank), serta Rp28,04 miliar (29 sertifikat hak milik), dengan total senilai Rp38.588.545.675.

Menanggapi hal ini, Pengamat Hukum dari Universitas Lampung, Dr. Yusdianto, S.H., M.H., meminta Kejati Lampung untuk tidak hanya membuat kegaduhan lewat penyitaan aset besar tanpa hasil akhir yang jelas.

Ia mencontohkan kasus dugaan korupsi KONI Lampung, di mana Agus Nompitu (AN) menang dalam praperadilan meski telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati.

"Saya mengingatkan, jangan sampai penyidik hanya menjadi pembuat gaduh tanpa hasil, seperti pada kasus yang kalah di praperadilan,” ujar Yusdianto, seperti dikutip dari kupastuntas.co, Minggu (14/9/2025).

“Semestinya kejaksaan belajar dari perkara praperadilan AN, yang dalilnya menyebut kejaksaan tidak profesional karena tidak menjalankan kewajiban sebagaimana diatur KUHAP,” lanjutnya.

Terkait penyitaan barang bukti oleh Kejati, Yusdianto menjelaskan bahwa meski seseorang masih berstatus saksi, jaksa diperkenankan menyita aset bila ada dugaan keterkaitannya dengan tindak pidana yang sedang disidik.

"Secara hukum, proses penyitaan dimulai dari menelaah arti penyitaan itu sendiri. Penyitaan adalah tindakan hukum untuk menguasai sementara barang yang diduga berkaitan dengan tindak pidana,” jelasnya.

Hal ini, lanjut Yusdianto, telah diatur dalam KUHAP Pasal 38–46. Dengan demikian, penyitaan dapat dilakukan meskipun pemilik barang masih berstatus saksi, karena barang yang disita dianggap terkait dengan perkara, bukan berarti yang bersangkutan otomatis menjadi tersangka.

Yusdianto juga menjelaskan bahwa seseorang yang awalnya berstatus saksi bisa saja kemudian ditetapkan sebagai tersangka apabila ditemukan minimal dua alat bukti sah (Pasal 184 KUHAP) yang mengaitkan dirinya dengan tindak pidana, termasuk jika terbukti aset yang disita berasal dari atau dibeli dengan hasil kejahatan.

“Pemilik aset dapat ditetapkan sebagai tersangka jika terbukti mengetahui, turut serta, menyembunyikan, atau menikmati hasil korupsi tersebut. Namun, jika penyitaan dilakukan dengan prosedur yang keliru, saksi bisa mengajukan praperadilan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Yusdianto menilai ada enam kemungkinan penyebab Kejati cenderung lamban dalam menangani kasus ini.

"Pertama, penyidik berhati-hati dalam pembuktian. Kedua, ada strategi tertentu. Ketiga, banyak saksi yang harus diperiksa. Keempat, keterbatasan personel. Kelima, pengaruh politik, kepentingan, atau tekanan eksternal. Keenam, prinsip kehati-hatian agar tidak kalah lagi dalam praperadilan,” urainya.

Untuk itu, ia menyarankan agar Kejati Lampung menangani perkara ini secara profesional.

"Saya menyarankan agar kejaksaan menuntaskan perkara ini dengan tunduk pada KUHAP, menghormati hak saksi, serta bekerja secara objektif, transparan, berkeadilan, dan berkepastian hukum,” tutupnya. (*)

Editor Didik Tri Putra Jaya