Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Senin, 13 Oktober 2025

Damar Lampung: Hukuman Pelaku Kekerasan Masih Terlalu Ringan

Oleh Redaksi

Berita
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan Damar Lampung, Afrintina. Foto: Ist.

Berdikari.co, Bandar Lampung - Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan Damar Lampung, Afrintina, mengatakan bahwa angka 611 kasus kekerasan dengan 660 korban perempuan dan anak di Provinsi Lampung sejak awal tahun hingga 9 Oktober 2025 bukan sekadar statistik. Data tersebut menjadi cermin rapuhnya sistem perlindungan bagi kelompok rentan di daerah.

Menurut Afrintina, angka tersebut menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan.

"Tingginya angka ini menunjukkan dua hal sekaligus, yakni meningkatnya kesadaran dan keberanian masyarakat untuk melapor, namun juga menegaskan bahwa kekerasan masih terjadi secara masif di berbagai lapisan, baik di ranah domestik maupun publik,” jelasnya, Sabtu (11/10/2025).

Afrintina menuturkan, dari pengalaman pendampingan yang dilakukan Damar, banyak korban masih menghadapi berbagai hambatan dalam memperoleh keadilan, mulai dari proses pelaporan yang berbelit, minimnya dukungan psikologis, hingga penegakan hukum yang belum sensitif terhadap korban.

"Tidak sedikit pelaku mendapat hukuman ringan, bahkan ada yang lolos dengan mediasi atau perdamaian. Hal ini justru menambah penderitaan korban,” tegasnya.

Ia mendorong agar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum di Lampung memperkuat koordinasi serta komitmen dalam memastikan penegakan hukum yang adil dan berpihak kepada korban. Selain itu, Afrintina menilai perlu adanya layanan perlindungan yang inklusif, mudah diakses, dan sensitif terhadap kebutuhan perempuan serta anak.

"Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran kemanusiaan. Upaya pencegahan harus dilakukan secara sistematis melalui pendidikan kesetaraan gender, penguatan komunitas, dan kebijakan anggaran yang berpihak pada perlindungan korban,” paparnya.

Sementara itu, Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara, menilai tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Lampung menunjukkan masih adanya kesenjangan serius antara norma hukum, budaya masyarakat, dan efektivitas pelaksanaannya.

Menurut Benny, kasus kekerasan sering kali bersifat laten atau tersembunyi, dan baru terungkap setelah menimbulkan dampak berat. Ia menyebut, faktor penyebabnya beragam, mulai dari lemahnya kontrol sosial, relasi kuasa yang timpang dalam rumah tangga, hingga masih kuatnya budaya patriarkis yang cenderung menyalahkan korban.

"Angka kekerasan yang tinggi menunjukkan bahwa perlindungan hukum sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) serta Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak belum sepenuhnya berjalan efektif,” kata Benny, Sabtu (11/10/2025).

Benny menjelaskan, secara normatif instrumen hukum Indonesia sudah cukup lengkap. Namun, dalam praktiknya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak masih belum maksimal.

"Proses penyidikan sering kali lambat dan masih minim penyidik perempuan yang memiliki keahlian menangani kasus berbasis gender. Koordinasi antarinstansi seperti kepolisian, kejaksaan, lembaga perlindungan, dan pemerintah daerah juga belum optimal,” terangnya.

Selain itu, budaya victim blaming turut menjadi hambatan besar karena membuat korban enggan melapor atau mencabut laporan akibat tekanan sosial maupun ekonomi.

"Belum lagi keterbatasan rumah aman dan layanan pendampingan psikologis di daerah-daerah yang jauh dari ibu kota provinsi,” jelasnya.

Benny menerangkan, hukuman terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak secara formal sebenarnya sudah cukup berat. Misalnya, dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, pelaku bisa dijatuhi pidana seumur hidup atau bahkan kebiri kimia, sebagaimana diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016. Namun dalam praktiknya, banyak putusan pengadilan yang masih menjatuhkan hukuman ringan, terutama bagi pelaku yang memiliki kedekatan dengan korban seperti orang tua, paman, atau guru.

"Hal ini menimbulkan kesan bahwa negara belum sepenuhnya berpihak pada korban. Akibatnya, efek jera terhadap pelaku maupun masyarakat menjadi lemah. Ketidakkonsistenan putusan juga mengurangi daya edukatif hukum pidana sebagai sarana pencegahan,” ungkapnya.

Untuk mencegah kasus serupa terus berulang, Benny mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum menerapkan langkah-langkah kebijakan hukum yang lebih progresif dan terintegrasi. Ia merekomendasikan beberapa langkah penting, antara lain memperkuat sistem peradilan yang sensitif gender dan anak melalui pelatihan aparat penegak hukum serta penerapan SOP khusus dalam penanganan kasus kekerasan berbasis gender.

Menegakkan hukum secara konsisten dan tegas, termasuk pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan dalam lingkup keluarga atau yang memanfaatkan posisi kepercayaan.

Memperluas perlindungan korban, seperti penyediaan rumah aman, bantuan hukum gratis, dan pendampingan psikososial berkelanjutan.

Mendorong edukasi dan sosialisasi hukum secara masif melalui peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lembaga pendidikan.

Serta membangun kolaborasi lintas sektor antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum, lembaga perlindungan perempuan dan anak, serta organisasi masyarakat sipil.

Benny menegaskan, politik hukum pidana dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak boleh hanya berorientasi pada aspek represif, tetapi juga harus memperhatikan aspek preventif dan restoratif.

“Negara harus hadir secara nyata untuk memastikan perlindungan hukum berjalan efektif, hukuman memberikan efek jera, dan korban memperoleh keadilan serta pemulihan yang layak,” pungkasnya. (*)

Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Senin 13 Oktober 2025 dengan judul "Damar: Hukuman Pelaku Kekerasan Masih Terlalu Ringan”

Editor Didik Tri Putra Jaya