Berdikari.co, Bandar Lampung — Polemik harga singkong di Provinsi Lampung kembali mencuat setelah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor B-133/KN.120/M/10/2025 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian (HAP) Ubi Kayu, tertanggal 3 Oktober 2025. Dalam aturan tersebut, penetapan harga diserahkan kepada pemerintah daerah.
Akademisi Universitas Lampung (Unila) Saring Suhendro menilai, kebijakan itu belum mampu menjawab akar persoalan yang selama ini membelit petani singkong di Lampung. Menurutnya, penyerahan kewenangan ke daerah tidak serta-merta membuat harga menjadi adil bagi petani.
“Masalah harga singkong ini seperti lagu lama. Setiap kali harga jatuh, petani selalu jadi pihak paling lemah. Mereka bekerja keras dari tanam sampai panen, tapi harga tetap ditentukan di meja pabrik,” ujar Saring, Rabu (15/10/2025).
Ia menjelaskan, persoalan utama justru terletak pada struktur pasar yang tidak seimbang. Ribuan petani kecil dihadapkan pada segelintir pabrik besar dan tengkulak yang menguasai rantai pasok, modal, serta informasi harga. “Pasar tidak berjalan kompetitif. Yang kuat menentukan, yang lemah menanggung,” katanya.
Saring juga menyoroti lemahnya posisi hukum kebijakan harga acuan. Menurutnya, tanpa sanksi tegas bagi pabrik yang membeli di bawah harga acuan, kebijakan tersebut hanya sebatas formalitas. “HAP itu hanya imbauan. Tidak ada kekuatan memaksa, jadi pabrik bebas menentukan harga sesuka hati,” ujarnya.
Ia menegaskan, jika kondisi ini terus dibiarkan, maka kekuasaan ekonomi sepenuhnya akan bergeser ke tangan industri besar. “Selama pemerintah tidak hadir dengan regulasi yang mengikat, petani akan terus menjadi penonton di pasar yang dikuasai pemilik modal,” lanjutnya.
Meski begitu, Saring mengapresiasi langkah Pemerintah Provinsi Lampung yang telah berupaya memperjuangkan kepentingan petani melalui berbagai kebijakan, termasuk kemitraan dengan industri pengolah dan forum dialog harga. Namun, menurutnya, suara pemerintah daerah sering kali kalah oleh kepentingan korporasi.
“Singkong bagi Lampung bukan sekadar komoditas, tapi nadi ekonomi desa. Kalau harga dibiarkan liar, petani bisa kehilangan harapan. Pemerintah daerah harus lebih berani, bukan hanya menetapkan harga, tapi menegakkan keadilan di pasar,” tegasnya.
Ia menutup dengan pesan agar pemerintah memperkuat perlindungan bagi petani melalui kebijakan yang memiliki dasar hukum dan mekanisme pengawasan jelas. “Petani tidak butuh janji, mereka butuh jaminan harga yang manusiawi,” pungkasnya. (*)