Berdikari.co, Bandar Lampung - Kepala Kanwil Ditjen
Imigrasi Lampung, Petrus
Teguh Aprianto, menyebut sepanjang tahun 2024 tercatat lebih
dari 7.000
permohonan paspor di Lampung berindikasi nonprosedural.
Hal
tersebut disampaikan Petrus saat kegiatan Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II Tahun
2025 bertajuk “Strategi
Pelayanan Keimigrasian dalam Upaya Pencegahan PMI Nonprosedural di Provinsi
Lampung”. Kegiatan ini digelar oleh Kantor Wilayah (Kanwil)
Direktorat Jenderal Imigrasi Lampung sebagai upaya memperkuat pelayanan
keimigrasian dan mencegah keberangkatan pekerja migran Indonesia (PMI) secara
nonprosedural.
Petrus
mengatakan, kegiatan ini berawal dari keprihatinan terhadap tingginya potensi
keberangkatan warga secara ilegal. Sepanjang 2024, lebih dari 7.000 permohonan
paspor di Lampung terindikasi nonprosedural.
“Angka
ini bukan sekadar statistik, tetapi menjadi alarm kemanusiaan. Tugas Imigrasi
bukan hanya menerbitkan paspor, melainkan memastikan setiap warga yang
berangkat ke luar negeri terlindungi,” kata Petrus dalam keterangannya, Selasa
(21/10/2025).
Menurutnya,
pendekatan baru ini mengubah orientasi pelayanan dari yang semula administratif
menjadi perlindungan warga negara. Ada tiga pilar utama yang menjadi fokus
penerapan strategi tersebut.
Pertama, Pedoman Pelayanan Paspor Pencegahan
PMI Nonprosedural, yaitu panduan bagi petugas dalam mengenali
indikator risiko serta memastikan pemeriksaan permohonan dilakukan secara
cermat dan manusiawi.
Kedua, Sistem Terintegrasi Antar Kantor
Imigrasi di Lampung. Melalui sistem berbasis data bersama,
riwayat permohonan paspor yang ditolak dapat dilacak lintas satuan kerja
sehingga pemohon berisiko tidak bisa berpindah dari satu kantor ke kantor lain
tanpa jejak.
Ketiga, Program Literasi Hukum dan Migrasi
Aman (PIMPASA) yang dilakukan dengan turun langsung ke
masyarakat, terutama di desa-desa kantong PMI.
“Melalui
PIMPASA, kami ingin masyarakat paham bahwa migrasi aman dimulai sejak proses
pengurusan paspor. Setiap paspor yang diterbitkan bukan hanya dokumen
perjalanan, tapi juga bentuk tanggung jawab negara terhadap keselamatan
warganya,” ujar Petrus.
Ia
menambahkan, langkah ini juga mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti
BP2MI, Dinas Tenaga Kerja, Kepolisian, dan pemerintah daerah. Dari hasil
pelaksanaan di lapangan, pedoman pelayanan tersebut sudah diterapkan di tiga
kantor imigrasi pilot, yakni Bandar
Lampung, Kalianda, dan Kotabumi.
Sistem
integrasi berbasis spreadsheet telah
digunakan untuk mendeteksi pemohon berisiko, sementara program sosialisasi
PIMPASA berhasil menjangkau puluhan desa kantong PMI.
Dari
hasil evaluasi, Kanwil Ditjen Imigrasi Lampung mencatat adanya penurunan tren permohonan paspor
berindikasi nonprosedural serta meningkatnya kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya jalur migrasi resmi.
Petrus
menambahkan, ke depan pedoman pelayanan ini diharapkan dapat diadopsi secara
nasional oleh Ditjen Imigrasi. Ia juga mendorong penguatan sistem integrasi
digital serta perluasan program literasi hukum dan migrasi aman ke provinsi
lainnya.
“Langkah
kecil dari Lampung ini kami harapkan menjadi inspirasi nasional. Imigrasi bukan
hanya soal pelayanan keberangkatan, tapi tentang menjaga keselamatan perjalanan
hidup warga negara,” pungkasnya. (*)