Logo

berdikari BERITA LAMPUNG

Jumat, 21 November 2025

Garinca: Pasal Dianggap Kontroversial Bisa Digugat ke MK

Oleh ADMIN

Berita
Ketua Komisi I DPRD Provinsi Lampung, Garinca Reza Pahlevi. Foto: Ist

Berdikari.co, Bandar Lampung - Ketua Komisi I DPRD Provinsi Lampung, Garinca Reza Pahlevi, menyebut penyusunan KUHAP baru telah melalui proses panjang dengan melibatkan berbagai pihak.

Ia mengatakan pembaruan hukum perlu dilakukan untuk menyesuaikan dinamika sosial dan perkembangan zaman.

“Proses pengesahan KUHAP melalui banyak tahapan, termasuk pembahasan bersama stakeholder dan masyarakat. KUHAP baru yang akan berlaku pada 2026 ini menjadi bentuk penyesuaian hukum dengan kondisi zaman. Pembaruan hukum memang harus dilakukan,” kata Garinca, Kamis (20/11/2025).

Garinca menerangkan apabila masyarakat menilai terdapat pasal kontroversial, mekanisme koreksi tetap tersedia secara konstitusional.

“Kalau ada pasal yang dianggap kontroversial, masyarakat bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Itu mekanisme resmi yang disediakan negara. Dan jika MK sudah memutuskan, putusannya bersifat mengikat,” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Komisi I DPRD Provinsi Lampung, Ade Utami Ibnu, menambahkan bahwa kritik masyarakat terkait pengesahan RKUHAP bukan hal yang perlu dikhawatirkan, melainkan bagian dari iklim demokrasi yang sehat.

Menurutnya, suara publik justru menjadi elemen penting dalam memastikan setiap produk hukum tetap relevan dan berorientasi pada keadilan.

“Dengan pengesahan KUHAP ini, kita berharap ada penguatan penegakan hukum dan keadilan. Undang-undang sebelumnya sudah terlalu lama, jadi pembaruan ini harus benar-benar melahirkan hukum yang membumi. Penegak hukum adalah wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan, maka profesionalitas harus dijunjung,” kata Ade.

Ia juga menekankan bahwa penolakan masyarakat terhadap sebuah undang-undang merupakan hal wajar. Negara, ujarnya, tidak boleh menutup ruang kritik karena partisipasi publik adalah pilar penting dalam pembentukan legislasi.

“Pengesahan produk hukum di DPR RI pasti melalui tahapan partisipasi publik, biasanya dilakukan melalui uji publik dan sosialisasi. Namun penolakan dari masyarakat tetap sah dalam negara demokrasi. Aspirasi itu tidak boleh dibungkam dan harus menjadi catatan. Jika suatu saat undang-undang tidak lagi relevan, revisi bisa dilakukan. Masyarakat pun berhak mengajukan judicial review,” jelasnya. (*)

Editor Sigit Pamungkas