Berdikari.co, Bandar Lampung - Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, menegaskan bahwa PP No. 18 Tahun 2021 Pasal 27 secara tegas mengatur 12 kewajiban perusahaan pemegang HGU.
Salah satu kewajiban yang tercantum dalam huruf i adalah bahwa perusahaan berbentuk perseroan terbatas dan bergerak di sektor perkebunan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sedikitnya 20 persen dari luas tanah yang diberikan melalui HGU.
Prabowo mengatakan, ketentuan tersebut merupakan bentuk kehadiran negara dalam memastikan keberpihakan terhadap masyarakat lokal yang selama ini hidup berdampingan dengan kawasan perkebunan besar.
Aturan ini juga menjadi syarat penting bagi perusahaan perkebunan yang memiliki HGU di atas 250 hektare, baik saat mengajukan permohonan baru maupun perpanjangan HGU lama. Namun, implementasinya dinilai jauh dari harapan.
"PP tersebut memberikan mandat yang sangat jelas, tetapi praktiknya banyak perusahaan mengabaikan kewajiban ini. Mereka memegang HGU puluhan hingga ratusan hektare, tetapi tidak menyediakan 20 persen lahan untuk pembangunan perkebunan rakyat,” kata Prabowo, Selasa (25/11/2025).
Ia mencontohkan PT BSA yang saat ini berkonflik dengan masyarakat Anak Tuha. Dalam beberapa pertemuan dengan masyarakat dan Forkopimda, pihak perusahaan mengakui belum menyediakan lahan untuk perkebunan rakyat sebagaimana diatur dalam PP No. 18/2021.
Kondisi ini, lanjut Prabowo, bukan kasus tunggal, tetapi mencerminkan pola pelanggaran di berbagai daerah dan menjadi penyebab utama munculnya konflik agraria.
"Banyak perusahaan sengaja menunda atau bahkan tidak memiliki niat untuk menjalankan kewajiban tersebut. Akibatnya, konflik terus terjadi karena masyarakat tidak mendapatkan hak atas lahan yang seharusnya menjadi bagian dari kewajiban perusahaan,” ujarnya.
Prabowo meminta Kementerian ATR/BPN bersama perangkatnya di daerah serta pemerintah daerah untuk melakukan penataan ulang terhadap HGU perusahaan, terutama yang belum menyediakan kebun rakyat.
Ia menegaskan bahwa sanksi administratif, termasuk pencabutan izin dan HGU, sebenarnya dapat diberlakukan terhadap perusahaan yang tidak patuh.
Namun, ia mengakui pelaksanaan sanksi tersebut kerap tersendat karena minimnya ketegasan pemerintah dalam melakukan pengawasan.
Selain itu, praktik tebang pilih serta adanya konflik kepentingan antara pengusaha perkebunan dengan pemerintah daerah, BPN, hingga aparat penegak hukum juga menjadi hambatan utama dalam penegakan aturan.
Prabowo menyoroti lemahnya pemahaman masyarakat terkait regulasi pertanahan, sehingga mereka sering menjadi korban manipulasi dan janji palsu terkait penyediaan 20 persen kebun rakyat. Minimnya sosialisasi membuat masyarakat tidak memiliki posisi tawar yang kuat ketika berhadapan dengan perusahaan.
Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan penyediaan 20 persen lahan kebun rakyat bukan solusi menyeluruh bagi persoalan agraria di Indonesia.
Menurutnya, kebijakan tersebut hanya menjadi langkah sementara untuk meredam konflik di tengah penolakan masyarakat terhadap HGU perusahaan, sementara akar persoalannya adalah ketimpangan penguasaan lahan.
"Perusahaan bisa menguasai ribuan bahkan jutaan hektare tanah, sementara petani, masyarakat adat, dan komunitas lokal sangat kesulitan mendapatkan hak atas tanah mereka sendiri. Selama ketimpangan struktural ini tidak diselesaikan, konflik akan terus muncul di mana-mana,” paparnya.
Prabowo juga mengkritik pendekatan keamanan yang masih sering digunakan dalam penyelesaian konflik agraria. Penanganan yang melibatkan aparat keamanan kerap memperburuk situasi, karena petani dan masyarakat adat justru dikriminalisasi saat memperjuangkan hak mereka.
"Kekerasan dan intimidasi tidak bisa menjadi jalan keluar. Negara harus hadir bukan sebagai alat perusahaan, tetapi sebagai pelindung masyarakat,” tegas Prabowo. (*)
Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Rabu 26 November 2025 dengan judul "LBH: Aturan Wajib Kebun Rakyat 20 Persen Tidak Jalan”

berdikari









